Posted by : Unknown Thursday 1 August 2013

Sebagai mahasiswa tingkat pertama di program studi psikologi UNS, saya dan teman-teman tidak terlalu berharap banyak terhadap proposal Program Kreatifitas Mahasiswa yang kami kirim ke DIKTI tahun itu. Selain karena masih awam di dunia penelitian dan pengabdian, saingan kami adalah mahasiswa-mahasiswa senior yang sudah langganan lolos seleksi PKM. 

Bahkan beberapa diantaranya sudah langganan lolos seleksi PIMNAS. Ajang bergengsi bagi mahasiswa sebagai pembuktian bahwa “mereka” merupakan makhluk intelektual yang ilmiah.


Keikutsertaan dalam pengiriman proposal itu merupakan salah satu hal ternekat yang kami lakukan. Kata beberapa kakak tingkat saat itu, “Sudah, kirim saja. Siapa tahu lolos. Kalau lolos ya Alhamdulillah, nggak lolos ya gapapa.” Bisa dibilang, kami adalah tim unthul bawang (sebutan untuk anak bawang) yang belum tahu apa-apa. Hanya ikut sebagai penggembira dalam suatu permainan, jika menang tidak dihitung, kalah tidak jadi masalah.


Program Kreatifitas Mahasiswa bidang pengabdian tahun 2007 yang berjudul “Memperkenalkan Kembali Permainan Tradisional Kepada Anak Sekolah Dasar Sebagai Wujud Pelestarian Budaya di Surakarta” kami kirim tanpa ada ekspektasi yang lebih untuk diterima atau lolos seleksi untuk didanai.


Setelah beberapa bulan tidak ada kabarnya, akhirnya diawal bulan Maret, kami mendapat kabar yang cukup mengagetkan. Senang bercampur bingung. Senang karena proposal PKM kami ternyata lolos seleksi dan siap didanai untuk dilaksanakan. Namun juga bingung, karena sebagai anak bawang yang masih baru,kami tidak tahu apa yang harus kami lakukan.


Berbekal nekat, dan tanya-tanya kepada kakak tingkat, kamipun mulai tahu apa langkah-langkah yang harus kami lakukan jika proposal kami diterima. Mulai dari menyiapkan surat ijin ke sekolah, hingga kelengkapan peralatan yang harus kami siapkan. Sebagai mahasiswa baru yang masih semangat-semangatnya ikut kegiatan di kampus, bulan itu kami semua masih focus untuk menyiapkan sebuah seminar tingkat nasional di kampus.


Kebetulan, yang kami jadikan tempat untuk melakukan kegiatan pengabdian ini adalah sekolah teman satu kelompok PKM kami saat SD dulu. Sehingga “negosiasi” dengan kepala sekolah bisa berjalan lebih mudah. Kami pun diijinkan untuk melakukan kegiatan dengan mengambil jadwal kegiatan ekstrakulikuler Pramuka di sore hari.


Kamis, 13 Maret 2008 pukul 15.30 saya dan teman-teman PKM kelompok DONAL (DOlanan tradisioNAL) telah disambut dengan meriah oleh adik-adik dari SD Banyuanyar 1, Banjarsari Surakarta. Kakak Pembina Pramuka saat itu, Kak Setyo sampai kewalahan mengarahkan adik-adik untuk tetap dalam barisan saat melihat kami datang membawa mainan berupa dakon, bekelan, bola kasti untuk kontrakol dan lain-lain.


Bermodalkan pengalaman menjadi Pembina pramuka saat sekolah dulu, akhirnya kami semua bisa mengkondisikan adik-adik untuk masuk ke kelas terlebih dahulu guna pengarahan kegiatan. Adik-adik kelas 4 dan 5 yang ikut kegiatan sore itu rupanya tidak sabar ingin segera bermain dengan alat yang kami bawa. Sehingga saat kelompok selesai dibagi, mereka langsung berlarian keluar sambil membawa mainan yang telah kami sediakan. Setiap kelompok diberi kesempatan untuk bermain pada tiap pos yang sudah kami buat. Setiap pos memuat satu macam permainan tradisional. Ada pos dakon, bekelan, engklek, jamuran, dan soyang.


Saking serunya sore itu, ada beberapa anak yang tidak mau pindah kelompok karena merasa belum ada yang bisa mengalahkannya bermain dakon. Dan rupanya ia bukanlah siswa putri yang mungkin lebih familiar dengan permainan itu, tetapi ia adalah siswa laki-laki dari kelas 5.

Kegiatan ke sekolah kami lanjutkan pada tanggal 17 Maret 2008. Kali ini permainan sedikit dirubah. Jika pada pertemuan pertama kali permainan lebih ditekankan pada jenis permainan ringan yang tidak menggunakan fisik terlalu banyak, pada pertemuan kali ini adik-adik ditantang untuk melakukan permainan tradisional yang cukup menguras fisik. Yaitu gobag sodor, betengan, kontrakol dan soyang. Antusiasme adik-adik ternyata semakin bertambah, karena kegiatan sore itu memang sangat menyenangkan untuk dilakukan. Kegiatan sore itu kemudian kami tutup dengan sebuah ice breaking ringan dan sedikit pesan dari kami agar adik-adik tetap mau memainkan permainan tradisional. Tak lupa sebagai kenang-kenangan, kami menghadiahi sekolah dengan beberapa set alat-alat permainan tradisional agar adik-adik bisa tetap memainkan permainan tradisional di sekolah mereka.


Selesai kegiatan sekolah bukan berarti selesai pula kegiatan kami. Karena tidak lama dari itu, kami harus menghadapi Monitoring dan Evaluasi dari DIKTI terkait laporan kegiatan maupun penggunaan dana. Lagi-lagi karena kami masih anak bawang yang belum tahu apa-apa, kami sempat kelabakan untuk mempersiapkan semua kelengkapan MONEV. Mulai dari laporan kegiatan, keuangan, revisi modul permainan hingga pendokumentasian kegiatan.


Bersyukur, kami mendapat giliran MONEV di malam hari. Urutan ketiga dari belakang, dari semua peserta PKM yang lolos. Pertama kali presentasi didepan juri, Bapak Tendy Y Ramadin yang belakangan kami ketahui bahwa beliau adalah Dosen ITB dan juga founder dari Designo Design Bureau. Dengan sederet penghargaan yang beliau terima, ternyata tidak menjadikan beliau seorang yang memandang sebelah mata pada kami. Banyak masukan yang kami terima saat MONEV berlangsung, terutama terkait dengan aspek-aspek yang harus lebih digali lagi dalam permainan tradisional yangdikaitkan dengan bidang keilmuan kami yaitu psikologi.

Bukan Sekedar Anak Bawang

Bermula dari adanya PKM kami, ternyata menimbulkan ketertarikan yang luar biasa di kampus. BEM maupun Himpunan Mahasiswa jurusan memasukkan unsure-unsur permainan tradisional dalam kegiatan mereka. Bahkan, senior di kampus melakukan penelitian terkait permainan tradisional untuk dijadikan skripsi. Kakak tingkat kami yang bernama Ika Sri Wahyuni berhasil meraih gelar kesarjanaannya di tahun 2009 dengan skripsi yang berjudul “Efektivitas Pemberian Permainan Tradisional Gobag Sodor Terhadap Penyesuaian Sosial Anak Sekolah Dasar Negeri Cakraningratan Surakarta”


Tidak mau menjadi Anak Bawang yang biasa-biasa lagi, pada tahun 2010 kami Tim DONAL mengajukan PKM lagi dengan tema permainan tradisional. Kali ini kami membidik satu tema khusus yaitu permainan Dakon. Di luar Jawa, permainan ini lebih dikenal dengan nama congklak. Di Lampung permainan ini lebih dikenal dengan nama dentuman lamban. Sedangkan di Sulawesi permainan ini lebih dikenal dengan nama Mokaotan, Maggaleceng, Aggalacang, dan Nogarat.

PKM kali ini kami beri judul “Pengenalan Kembali Permainan Tradisional Dakon Sebagai Sarana Alternatif Untuk Meningkatkan Kemampuan Kognitif, Sosial, Dan Psikomotorik Anak Sekaligus Melestarikan Kebudayaan Di Daerah Surakarta”. 


Dengan niat untuk lebih mengeksplorasi sisi psikologis dari permainan Dakon. Didapati bahwa pada permainan ini terdapat beberapa aspek psikologi yang menonjol. Pada sisi kognitif, permainan ini melatih serta mengajarkan anak akan kemampuan hitungan serta kemampuan negosiasi dalam hal ekonomi. Anak diajarkan pula bagaimana ia mengendalikan “keuangan” dalam permainan Dakon. Bagaimana tiap hari ia harus menggunakan “uang” secukupnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, kemudian menabung di lumbung masing-masing jika berlebih. Prinsip ekonomi diajarkan dengan cara-cara yang menyenangkan dan mudah diterima anak.


Dari sisi social, anak diajarkan akan prinsip berbagi kepada sesama. Dalam permaianan ini seorang pemain Dakon memasukkan biji kecik kedalam lubang lawan, jika biji kecik yang ia ambil berlebih. Tapi bukan dimasukkan pada lumbung lawan main. Ini juga mengajarkan anak-anak, jika ingin membantu orang lain, berikan sesuai kebutuhan. Hal ini agar memancing ia untuk berusaha sendiri memenuhi lubang dakonnya atau kebutuhannya sendiri-sendiri. Agar tidak bergantung kepada pemberian orang lain.


Sisi lain yaitu sisi psikomotor. Dalam ilmu psikologi, psikomotor atau gerak anggota tubuh dapat kita deteksi dengan permainan ini. Anak yang memiliki motorik halus yang baik, akan mudah memainkan permainan ini. Ia mampu menggenggam semua biji kecik yang ia ambil cukup dengan satu tangan. Berbeda jika aspek psikomotor anak kurang baik, maka ia akan kesulitan bukan hanya saat mengambil semua biji kecik namun juga saat memasukkan biji tersebut satu persatu ke dalam lubang dakon.

Sungguh permainan yang sarat akan nilai-nilai kehidupan. Nilai kehidupan yang diajarkan dengan cara sederhana, menyenangkan, dan mudah diterima oleh anak. Dengan konsep bermain, seorang anak tidak akan merasa terbebani melakukan sesuatu. Bahkan mampu menstimulasi anak untuk lebih peduli dengan lingkungannya, pada keadaan masyarakat di sekitarnya. 


Di tahun 2011, spirit itu bertambah kuat saat saya diberi amanah menjadi Ketua Panitia dalam Jambore Anak Islam se Surakarta. Kesempatan itu saya gunakan untuk lebih mempromosikan lagi permainan tradisional. Dengan cara membuat satu sesi khusus dimana, para peserta diberi tugas untuk mencoba semua permainan tradisional yang telah disediakan panitia. Peserta yang mampu memainkan banyak permainan tradisional akan mendapat nilai yang kemudian akan diakumulasikan dengan nilai lain untuk kemudian ditunjuk siapa yang menjadi peserta terbaik dalam Jambore tersebut.

Setelah menyelesaikan studi S1 Jurusan Psikologi, tak lantas menurunkan spirit akan permainan tradisional. Dipertengahan tahun 2012, saya diminta dari almamater saya, Psikologi UNS untuk menyelenggarakan sebuah seminar tentang permainan tradisional. Bersama-sama dengan rekan mahasiswa yang masih aktif, di tanggal 10 November 2012 kami berhasil mengadakan seminar nasional yang berjudul “Permainan Tradisional Sebagai Media Intervensi Psikologi: Mengangkat Kearifan Lokal untuk Membangun Karakter Bangsa”. 


Antusiasme serta harapan dari peserta seminar yang tinggi akan kelestarian permainan tradisional ini, dijawab oleh rekan-rekan yang menjadi panitia saat itu dengan menghadirkan pembicara yang kompeten di bidangnya. Seminar ini mengundang tiga pembicara yang berkompeten dalam dunia permainan tradisional, yaitu Bapak Sahid Teguh Widodo, dari Pusat Javanologi UNS; yang membahas mengenai kearifan local dari permainan tradisional yang ada di Indonesia. Psikolog Dewi Retno Suminar dari Unair yang merupakan salah satu pelopor play therapy untuk anak-anak ; serta Zaini Alif dari yang mendirikan Komunitas Hong, Pusat Kajian Mainan Rakyat Indonesia di Bandung.



Dan di tanggal itu pula (10-11-2012), terbentuklah KOMUNITAS ANAK BAWANG (Komunitas Permainan Tradisional Solo). Sebuah komunitas yang mencoba mengajak untuk kembali memainkan lagi bentuk-bentuk permainan tradisional kepada generasi muda saat ini. Tercetus satu cita-cita dari kami untuk bersama-sama melestarikan kembali permainan tradisional di era modern ini. Permainan rakyat yang sarat akan nilai pendidikan dan budi pekerti. Tidak semata mengejar kepandaian secara akal saja, namun juga mendidik secara emosional dan spiritual. Menanamkan sikap toleransi, bergotong-royong, kekeluargaan serta berani dalam hidup.


Berbagai kegiatan telah kami lakukan, mulai dari mengisi kegiatan dari satu sekolah ke sekolah lain, aktif kampanye permainan tradisional di beberapa area public, hingga mengikuti beberapa kegiatan pameran di Mall atau pusat perbelanjaan modern di Kota Solo. Maupun terlibat secara aktif didunia maya untuk mengajak “bermain” kembali dengan memori masa lalu. Kerjasama dengan beberapa pihak juga coba kami lakukan, dengan pengurus PAUD kota Surakarta, beberapa Event Organizer maupun lembaga-lembaga serta komunitas lain yang ada di Kota Solo. Tak lupa pula, kami mencoba untuk mengangkat perekonomian para pengrajin dan penjual mainan tradisional di Kota Solo, dengan sering membantu menjualkan mainan baik lewat pameran ataupun dunia maya.

Tidak hanya sekedar menjadi ANAK BAWANG di daerah sendiri, pada awal tahun 2013, saat saya mendapat kesempatan untuk bertemu dengan rekan-rekan dari berbagai daerah di suatu acara perkumpulan relawan, tak lupa semangat itu juga saya bawa. Dan untuk saya kabarkan bahwa dengan semakin berkembangnya zaman, kita tidak boleh terhanyut dalam arus modernitas yang tanpa batas. Teringat kata seorang pembicara yang merupakan pengusaha sukses negeri ini dalam sebuah acara talkshow di televisi, bahwa identitas atau kekayaan lokal tidak boleh hilang dalam era modern ini. Justru kekayaan lokal itu yang harus menjadi ciri kita untuk bersaing di dunia global.

Di bulan Mei lalu, saat mendapat kesempatan untuk ikut serta dalam Ekspedisi Bhakti Kesra Nusantara 2013 ke pulau terluar di pantai barat Sumatera saya menemukan keanekaragaman permainan tradisional dari daerah-daerah lain di Indonesia. Seperti permainan “Kucing” di Nias, yang mirip dengan permainan bekelan di Jawa. Yang membedakan hanya alatnya saja. Ada juga permainan “Kelas” yang sama dengan permainan engklek atau sondah mandah di Jawa. Serta berbagai macam model permainan kelereng yang saya temui di sana. Hal ini semakin menambah kecintaan akan permainan tradisional di Indonesia, dan membuktikan bahwa permainan tradisional bisa menjadi salah satu perekat keutuhan bangsa ini.


ANAK BAWANG yang dulu hanya sekedar menjadi penggembira dalam suatu permainan, kini berani untuk mengambil peran lebih dalam permainan ini. Bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk semua pemain dan semua yang ikut memainkan peran dalam permainan. Tidak sekedar ikut, tapi juga memberi kontribusi bagi bangsa ini.


Yang kami lakukan barulah sedikit upaya menuju usaha bersama seluruh komponen anak bangsa. Tidak hanya melestarika bentuk-bentuk fisik dari permainan tradisional, namun juga nilai-nilai luhur yang ada didalam tiap permainan tradisional tersebut. Bersama Indonesia Travel, mari melihat dan merasai dengan lebih kekayaan negeri ini. Semakin menggali, semakin kita akan tersadar bahwa kita belum mengetahui apa-apa. Semakin banyak mempelajari menjadikan kita akan semakin mudah menghargai. Menghargai kekayaan lokal yang beragam sebagai identitas diri dalam menjalani kehidupan global. 


Sudah saatnya, kita membuktikan bahwa bangsa ini BUKAN “ANAK BAWANG” BIASA yang ikut dalam permainan di dunia. Kita adalah bangsa yang mampu memainkan peran lebih dalam kehidupan global. @hahan_uddin
 

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Kicau Anak Bawang

Powered by Blogger.

Tulisan populer

Tamu Anak Bawang

Copyright © Komunitas Anak Bawang| Desain: Alie Poedjakusuma