- Back to Home »
- cerita dolanan , Permainan , permainan anak , permainan tradisional »
- PELANGI
Posted by : Unknown
Friday, 30 September 2016
Taman dengan tanah kosong yang selalu ramai dimanfaatkan oleh anak-anak seperantaraan dengan Pelangi untuk bermain sepak bola, gobak sodor, lompat tali, kasti, egrang dan masih banyak lagi
Ruang 4x4 m2 terlihat sederhana dan bersih dengan lantai
pualam putihnya sebagai ciri khas setiap sudut dari gedung tersebut. Hanya
berhiaskan kalender dan jam dinding yang terpampang menempel di dinding ruangan
tersebut. Tepat didepan jendela terdapat sebuah tempat tidur dengan tombol
control untuk mengatur kenyamanan pasien kini telah berlapiskan kain bercorak
putih dan biru yang polos sebagai pelapisnya. Hanya satu hal yang membedakan
dalam ruangan tersebut dari ruangan lainnya yaitu sebuah sofa berwarna hijau
yang mulai mengelupas dibagian sudut-sudut kecilnya tapi masih terasa nyaman
untuk diduduki memberi kesan yang kontras disudut ruangan dibandingankan dengan
perabotan lainnya. Dan ruangan tersebut cukup besar dengan peralatan medis
serta fasilitas yang sangat memadai untuk seorang pasien. Itulah kesan pertama
bagi setiap orang yang masuk ke ruangan tersebut. Hal tersebut akan kontras
dengan bangunan gedung tersebut yang masih menggunakan desain bangunan belanda
yang kuno.
Dalam ruang tersebut terdapat seorang gadis berambut ikal berusia 12
tahun yang hanya terbaring diatas tempat tidur dengan tatapan mata yang kosong
mengarah ke jendela. Sepanjang hari dia lewati dari pagi hingga senja tiba tak
pernah dia alihkan pandangannya ke arah jendela. Hanya waktu makan dan meminum
obat saja pandangnya beralih setelah itu dia akan menatap kembali keluar ke
arah jendela. Tak ada yang tau apa yang sedang dia pikirkan. Ibunya hanya bisa
menemani disamping dan terus mengajak berkomunikasi agar dia dapat melupakan
tragedi 2 bulan yang lalu yang telah merenggut salah satu kakinya. Ibunya tau
persisi bahwa itu merupakan pukulan berat bagi putrinya yang masih terlalu
belia.
13-16 Mei 2030 Tragedi kerusuhan pembakaran dan demo besar-besaran di
beberapa kota sebagai aksi para warga dan mahasiswa atas meroketnya harga-harga
kebutuhan hidup akibat jatuhnya nilai tukar mata rupiah terhadap dollar hingga
40% angka yang cukup tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Kondisi itu
pun diperparah dengan ketidakstabilannya kedudukan politik saat itu. Para pihak
dan golongan sibuk saling menyalahkan dan menjatuhkan atas jatuhnya nilai tukar
rupiah terhadap dollar. Kerusuhan semakin memuncak ketika diumumkannya bahwa
bahan bakar minyak bumi yang disubsidi dari pemerintah di berhentikan dan
pemerintah semakin gencar menggalakan pembelian produk dalam negeri. Dengan
penjelasan oleh beberapa pengamat ekonomi yang diberitakan di televisi akhirnya
kerusuhan mulai mereda satu hingga dua hari kedepan. Kerugian material yang
diterima oleh pemiliki toko, swalayan dan beberapa gedung yang ikut terbakar
akibat amukan para warga yang tak terkendalikan sangat dirasakan. Tidak hanya
kerugian material yang sangat dirasakan, kesedihan yang mendalam dapat
dirasakan oleh keluarga yang anak dan kerabatnya turut menjadi korban akibat
kerusuhan pembakaran tersebut. Salah satunya korban tersebut adalah gadis kecil
bernama pelangi yang kini hanya bisa berbaring di tempat tidur.
Hari-harinya kini tak seindah lagi seperti namanya pelangi. Minggu ke-9
kabar yang baik diterima ibunya dari dokter yang merawat putrinya.
“Kondisi Pelangi setiap minggu mengalami kemajuan yang pesat, bekas
jahitan dilutut kirinya pasca operasi kini nyaris sempurna menyatu dengan
kulit. Hanya saja akhir-akhir ini kondisinya terlihat menurun. Apakah hari ini
Pelangi tidak lagi memakan makananya bu ?”
“Sepanjang hari ini dia hanya menatap ke arah jendela. Makanan tadi
pagi dan siang ini tak ada dia sentuh sama sekali dok. Kejadian tersebut masih
memukulnya ditambah kondisinya sekarang ini masih belum dia terima. Beragam
cara yang dokter katakan telah aku lakukan. Tapi hasilnya semua nihil. Apakah
seharusnya kita perlu memanggil seorang pskiater dok ?”
“Pskiater hebatpun
tak akan mampu hanya bisa menghilangkan memori itu sesaat kecuali dalam dirinya
lah yang mengubah hal tersebut menjadi lapang dada. Tapi masih ada satu cara,
biarkan lah putrimu itu berinteraksi dengan dunia sosial dengan teman
sebayanya. Dari situlah nantinya putrimu akan mengerti tentang keikhlasan.” ujar dokter tersebut secara singkat.
“Baiklah dok.”ucap ibu pelangi dengan mengangguk paham
“Besok putrimu bisa pulang dan dilakukan rawat jalan. Dan setiap
seminggu sekali dapat dilakukan kontrol dan check up rutin, untuk obatnya nanti
akan aku resepkan. Untuk sekarang seperti ini dulu, semisal nanti ada hal yang
darurat ibu bisa menghubungi ku kapan pun itu”
“Terimakasih dok penjelasan dan infonya” jawab ibu pelangi sambil
bersalam dan hendak keluar dari ruang kerja dokter tersebut.
Pagi ini mentari sepertinya sedang bersahabat dengan para penghuni di
bumi. Langit terlihat cerah dan burung-burung saling bernyanyi bersautan, hanya
ada tinggal sisa genangan air hujan yang mengguyur kota semalam. Diruang 4x4 m2
Ibu Pelangi berusaha membujuk putrinya untuk memakan sarapan paginya dan
meminum obatnya yang terakhir sebelum obat baru akan diberikan.
“Ayo Pelangi makan sarapan pagimu ini. Dari kemarin tak ada makanan
yang masuk kedalam perutmu itu. Sedikit sajalah nak…. Setidaknya hari ini
perutmu ada isinya agar kamu cepat sembuh dan bermain bersama teman-temanmu.”
Dengan tetap memegang sendok berisi sup hangat dan nasi.
“Aku sudah tidak bisa lagi bermain dengan mereka bu. Dan aku akan
menjadi bahan ledekan mereka.” Ucap Pelangi dengan nada datar dan tetap
memandang keluar kearah jendela.
“Tidak akan ada yang meledekmu Pelangi. Ayo makan sesuap nasi dan sup
ini nak.” Dengan sabar Ibu Pelangi menunggu agar putrinya mau memakan
sarapan pagi ini. Dan akhirnya membuahkan hasil Pelangi memakan sarapan pagi
ini meskipun hanya beberapa suap saja. Obat pagi ini juga telah ia minum.
Pelangi tidak lagi berbaring ditempat tidur dan telah berpindah tempat
diatas kursi roda. Ibu pelangi segera membereskan beberapa barang yang dia bawa
selama di rumah sakit. Ibunya senantiasa mendorong kursi rodanya hingga ke
tempat dimana ibunya memakirkan mobilnya. Hari itu tidak hanya ibunya saja yang
menjemputnya tapi adik kecilnya dhika ikut menjemput kakak kesayangannya. Tak
kunjung habis adik kecilnya bercerita kepada kakaknya sepanjang menyusuri
lorong rumah sakit tersebut. Ceritanya pun bermacam-macam dari dia kesepian
dirumah karena tidak ada teman untuk diajak bermain hingga khayalan-khayalannya
ketika dia menjadi besar.
“Kak jika nanti kakak sudah dirumah mainkan nada-nada piano itu lagi
yaa.... rumah terasa sepi tanpa ada nada-nada piano yang meramekan isi rumah.”
Pinta Dhika pada kakaknya.
“Dhika biarkanlah kakak mu beristirahat, masih bisa ada hari lain
untuk kakak mu bermain piano dirumah” ucap ibu sambil tetap fokus menyetir
mobil yang dibawanya. Meskipun tidak ada respon dari Pelangi adiknya itu tetap
terus bercerita hingga akhirnya tak terasa mobil yang mereka tumpangi sudah
sampai didepan rumah. Klakson mobil pun berbunyi, tanpa menunggu lama akhirnya
gerbang tersebut terbuka. Mobilpun melaju masuk dan berhenti tepat didepan
teras rumah. Dengan di bantu pak amin sopirnya menurunkan Pelangi ke atas kursi
rodanya.
“Selamat datang kembali dirumah nona Pelangi.” Sapa pak Amin
dengan suara khasnya yang sedikit serak. Masih saja sama seperti apa yang
diresponkan kepada adiknya hanya diam dan bersikap dingin. Ibu Pelangi mulai
mendorong kursi rodanya menuju kamar barunya.
“Pelangi sementara waktu kamarmu dipindahkan di bawah untuk beberapa
hari ke depan hingga kau mahir mengendalikan kursi rodamu itu.” jelas
ibunya sambil terus mendorong kursi rodanya sampai dikamar. Era abad ini kursi
roda sudah desain modern sehingga memudahkan penggunanya untuk bergerak kesana
kemari hingga menaiki dan menurunin anak tangga tanpa harus takut terjatuh.
Sesampainya dikamar ibu mulai melanjutkan kembali perkataannya.
“Dan mulai minggu ini setiap hari sabtu kamu jangan lupa untuk kontrol
dan check up rutin ke dokter untuk mengetahui perkembangan kesehatanmu,
pelangi.”
“hhmmm.” Jawab Pelangi yang bernada dingin dengan anggukan kepala
menunjukan dia paham apa yang dipaparkan ibunya tadi.
Hari demi hari dilewati Pelangi dengan kebiasan yang sama menatap keluar
ke arah jendela dan terkadang keluar kamar menuju taman kecil dibelakang rumah
tapi tetap saja sesampai disana dia akan melamun kembali. Hingga suatu hari
tepatnya hari ke sembilan setelah di berada dirumah dia meminta adik
kesayangannya untuk menemani jalan-jalan di taman dekat perbatasan antara
kompleks perumahan dan kampung. Taman itu sengaja dibangun oleh warga setempat
agar anak-anak perumahan dapat bergaul dan bersosialisasi dengan anak umur
sebayanya. Taman dengan tanah kosong yang selalu ramai dimanfaatkan oleh anak-anak
seperantaraan dengan Pelangi untuk bermain sepak bola, gobak sodor, lompat
tali, kasti, egrang dan masih banyak lagi. Tak hanya anak kecil saja
memanfaatkan tanah kosong tersebut para anak SMA bahkan orang dewasa menjadikan
tanah kosong tersebut sebagi tempat bermain badminton atau voli. Sore ini
Pelangi memutuskan untuk menghabiskan senja ditaman tersebut dibawa rerimbunan
pohon mangga yang biasanya dia naiki bersama teman-temannya mengambil
mangga-mangga yang sudah matang. Melihat kawan-kawannya bermain riang belari
ke sana ke sini memanjat pohon dan memainkan permainan egrang menyisakan rasa
sakit didalam hatinya ketika dia menyadari tak bisa melakukan semuanya itu
lagi. Dibalik rasa sakitnya itu dia tersenyum puas ketika melihat
teman-temannya memainkan egrang tak selihai dan selincah seperti yang ia
mainkan dulu.
“Apakah aku boleh ikut berteduh disampingmu?”
Seseorang menyapanya, dengan suara yang sedikit dia kenalnya. Pelangi
menoleh. Beberapa detik kemudian dia diam dan mengingat ingat wajah gadis
berambut hitam lebat dan lurus.
“Lail!” dengan nadanya yang masih tak percaya bahwa gadis didepan
yang dia lihat sekarang adalah sahabatnya yang dua tahun yang lalu pindah ke
Surabaya ikut dengan Ayahnya yang ditugaskan didaerah tersebut. Ini seperti
kejutan bagi Pelangi.
“Hallo Pelangi.... Iya ini aku Lail” sambil melambai-lambaikan
tangannya didepan Pelangi.
“Aku tak percaya kau akan datang kembali kesini, aku pikir pertemuan
kita dua tahun yang lalu merupakan yang terakhir kalinya tanpa kau memberikan
kabar setelah itu.” Cetus Pelangi.
“Maaf deh Pelangi karena aku tak memberikan mu kabar kepadamu. Asrama
baru ku disana benar-benar mmberikan ku banyak kesibukan. Semua jadwal telah
tertata dan anak-anak asrama yang tinggal disana harus mentaati semua peraturan
yang sangat disiplin itu.” Jelasnya
Tak ada pembicaraan setelah itu lima menit setelah itu mereka hanya
saling diam menatap ke arah lapangan tempat kawan-kawan lainnya bemain gobak
sodor, lompat tali dan egrang.
“Setiap hal yang kita terima semua telah diatur oleh Tuhan. Entah itu
hal yang akan membuat kita sedih atau hal yang dapat membuat kita bahagia.
Semuanya itu adalah ujian untuk kita, untuk meningkatkan keimanan dan keyakinan
kita pada Tuhan. Dan tinggal bagaimana manusia itu melewati setiap ujian yang
harus dihadapinya.” Lail mencoba mengatur tempat duduknya kembali dan
melanjutkan perkataannya yang terputus. Dan menarik nafas dalam-dalam. “lalu apa yang kamu sedihkan Pelangi?
Apakah karena kau tak lagi bisa memainkan salah satu diantara mereka disana?”
tanyanya dengan sedikit berhati-hati kepada sahabatnya itu yang kenal sudah
sejak kelas satu SD.
Helaan nafas panjang dari Pelangi dan mencoba menceritakan kepenatan
dalam pikiran ini.
“Andai kejadian itu tidak ada pasti hari ini aku masih bisa bermain
dan berlatih untuk kejuaran permainan tradisional tingkat kota.” Katanya
singkat dengan meredam emosi yang melandanya
“Kamu tahu pohon mangga disana, batang pohonnya itu telah ditebang
oleh manusia tapi dia masih tetap bertahan tumbuh dan menghasilkan buah yang
manis meski satu batang besar di sisi kirinya sekarang tidak ada. Dan lihatlah
di sebelah sisi dari pohon itu ada batang kecil baru yang mulai tumbuh kembali.
Begitu juga dengan dirimu Pelangi, meski aku tahu kehilangan salah satu kaki mu
bukan berarti memutuskan semangatmu untuk tetap ikut dalam kejuaran tersebut
dengan katagori jenis permainan yang berbeda dari sebelumnya.”
Pelangi kemudian memikirkan apa yang dikatakan sahabatnya itu memang
benar. Itulah yang dia suka dari dirinya, sebuah pemikiran yang lebih bijaksana
dibandingkan dengan usianya.
“Entahlah aku ingin pulang saja Lail.” Sambil menekan beberapa
tombol agar kursi roda itu berjalan dengan sendirinya tanpa perlu bantuan orang
lain untuk mendorongnya.
“Dhikaaaa ayo kita pulang.” Teriak Pelangi yang diikuti Lail yang
beranjak berdiri dari tempatnya duduk. Tak menunggu lama adiknya pun sudah
persis disampingnya dengan nafas yang masih tersengal-sengal dan mencoba
menyapa sahabatnya Kak Pelangi.
“Eehhh ada kak Lail. Hallo kak” sembari melambaikan tangannya
Sepanjang perjalanan pulang tak ada lagi percakapan yang dibuka dari
kedua sahabatnya dan hanya sesekali sahabatnya itu merespon cerita dari adiknya
itu. Pelangi masih terus memikirkan apa yang dikatakan oleh sahabatnya itu. Dia
mencoba mencari tahu permainan apa yang bisa dia ikuti di kejuaran nanti. Tak
terasa sepuluh menit berjalan kaki telah sampai didepan rumah Pelangi. Lail pun
berpamitan kepada sahabatnya untuk pulang.
“Tunggu Lail. Benar meski aku tidak lagi memiliki anggota tubuh yang
lengkap, bukan berarti otak ku ini menjadi berhenti. Apakah kamu mau
mengajariku bermain bas-basan sepur ?” tanya Pelangi dengan meraih tangan
Lail untuk mencegahnya pergi. Sebuah pertanyaan yang mengejutkan bagi
sahabatnya itu
“Tentu bisa Pelangi. Aku akan mengajarkanmu.” Dengan nada yang
penuh keyakinan.
“Terimakasih Lail.” Raut wajah Pelangi seketika itu berubah. Kini
awan mendung yang menghiasi wajahnya mulai hilang. Sejak percakapan sore itu
setiap sore Lail dengan sabar mengajarkan permainan bas-basan sepur dari
bagaimana dia harus melangkahkan setiap bidak dan melawan bidak lawannya hingga
sekarang Pelangi mampu mengalahkan sahabatnya itu yang terkenal pandai
memainkannya. Ajang kejuaraan yang dia tunggu itupun akhirnya datang.
Bersambung…..
*Cerita ditulis oleh Reistu Widyastutik, Volunteer Komunitas Anak Bawang