- Back to Home »
- cerita dolanan , neker , Permainan , permainan anak , permainan tradisional »
- SEKOTAK KENANGAN
Posted by : Unknown
Tuesday, 11 October 2016
“Sekalipun waktu telah beranjak pergi dan permainan-permainan itu telah membungkam mulutnya. Nilai-nilai yang tumbuh darinya bukanlah sesuatu yang dapat dibunuh mati, bertahan dan berjalan dalam tindak
Hari Minggu. Matahari
berjalan pelan ke arah Barat menjemput senja. Pelan-pelan langkah Danar
berjalan menuju ke luar rumah. Danar merupakan seorang mahasiswa di sebuah
universitas daerah Surakarta. Saat ini ia sedang menikmati masa libur kuliah di
kampung halaman, Yogyakarta. Sore hari, dia berencana ke luar rumah untuk
melepas penat. Sepeda ontel berwarna coklat ia keluarkan dari garasi.
“Duh, bannya
kempes.” Keluhnya
“Dipompa di tempatnya
Candra, Le!” Ibu berteriak dari dalam rumah. Candra adalah tetangga rumah
yang mempunyai pompa sepeda.
“Inggih, Buk.”
Tanpa ragu
Danar menuntun si Semar, nama sepeda ontelnya, ke rumah Candra. Lima menit
menjelang, dia kini tepat di depan pintu rumah Candra.
“Kula nuwun, Candra!” Danar memanggil
sembari mengetuk pintu rumah Candra.
“Sinten, nggih?” terdengar suara Candra
dari dalam rumah.
“Danar,
Ndro!” teriak Danar.
“Owalah,
Danar. Kapan pulang dari Solo? Mau pinjem pompa, ya?”
“Udah dari
hari Rabu kemarin. Wah, tau aja, Ndro, hahaha. Udah lama ndak sepedaan, pengin
muter-muter kampung.”
“Oke, bentar
aku ambilin pompanya.”
Danar memompa
ban sepedanya. Setelah selesai, ia berpamitan kepada Candra dan tak lupa
mengucapkan terimakasih. Ia kayuh si Semar sembari menelisir jalan yang dulu
sering dilewatinya menuju sekolah bersama teman-teman. Seketika pikiran pulang
ke masa lampau.
“Nanti kalau
udah pulang sekolah ke rumah Pak Sur, yuk. Nekeran!” celoteh Danar kecil
kepada teman-temannya, Adi, Desta, Fahnan, Ali, Citra dan Emi.
“Ya, nanti
aku diampiri, ya!” jawab Fahnan.
Danar ingat,
waktu itu ia masih kelas tiga SD. Jarak rumah ke sekolah dapat ditempuh hanya
dengan berjalan kaki. Rumah teman-teman juga tidak terlalu jauh dengan
rumahnya, jadi setiap berangkat ke sekolah mereka selalu bersama-sama.
Sepanjang jalan menuju sekolah mereka isi dengan membicarakan agenda rutin seusai
pulang sekolah nanti, yaitu bermain. Citra dan Emi sibuk membicarakan mainan
orang-orangan dari kertas.
“Eh, ada
orang-orangan baru ndak ya di Bu Asih?” celoteh Emi kepada Citra. Bu Asih
adalah penjual mainan anak-anak di SD. Emi dan Citra selalu update orangan-orangan yang terbuat dari
kertas beserta segala jenis baju dan perlengkapannya.
Sementara Danar
kecil dan yang lain memperbincangkan neker
dan pong-pongan. Neker adalah sebutan lain dari kelereng,
sedangkan pong-pongan adalah binatang
kepompong yang seringkali ditemukan di pantai. Dulu ada beberapa jenis
permainan kelereng, ada yang dengan lubang dan yang satunya dengan garis.
Biasanya anak-anak lebih sering memainkan kelereng dengan membuat lubang karena
lebih mudah dimainkan baik oleh laki-laki maupun perempuan. Salah satu dari teman-temannya
ada yang membuat lubang kecil, setelah lubangnya jadi, mereka membuat garis
star dengan jarak lima langkah dari lubang. Permainan dapat dimainkan oleh
banyak pemain. Pemain bersiap di belakang garis dengan membawa kelereng
masing-masing. Kelereng dilempar menuju lubang. Sasaran utama adalah kelereng
masuk ke lubang. Pemain yang kelerengnya masuk ke dalam lubang, ia berhak
bermain pertama kali dan membidik kelereng lawan. Kelereng yang terbidik
dinyatakan mati, dan kelereng yang dapat bertahan paling akhir ialah yang
menjadi pemenang. Jika kelereng tidak ada yang masuk ke lubang, pemain yang
pertama kali main adalah ia yang kelerengnya terletak paling dekat dengan
lubang. Tugas utamanya adalah memasukkan kelereng menuju kelubang dengan cara
menyentil kelereng tersebut dengan tangan, begitu juga dengan pemain lainnya.
Kemudian, setelah itu baru bisa menyerang kelereng lain. Pemain yang dinyatakan
gugur dalam permainan adalah mereka yang terbidik kelereng lawan dan yang
kelerengnya masuk lagi ke lubangg untuk ke dua kalinya.
Ada persamaan antara
kelereng dengan permainan pong-pongan
yaitu sama-sama dengan membuat lubang di tanah dan dapat dimainkan oleh banyak
pemain. Lubang tersebut dimasukan air hingga penuh dan diaduk hingga keruh.
Kenapa harus keruh? Kekeruhan merupakan rintangan yang harus dilalui pong-pongan dan para pemain tidak mudah
menebak serta sabar menunggu kepompong siapa yang muncul pertama di permukaan.
Cara bermainnya adalah masing-masing pemain memegang satu pong-pongan dan dimasukkan ke lubang tersebut secara bersama-sama. Pong-pongan yang pertama kali muncul
ialah pemenangnya.
Begitulah
gambaran permainan Danar kecil.
***
Danar masih
mengayuh sepeda pelan. Saat ini ia meleawati rumah Pak Sur. Rumah tersebut
sudah kosong sejak lama. Nama pemiliknya adalah almarhumah Pak Sur. Anak-anak
sering kali bermain di sana, selain halamannya luas, rumah Pak Sur juga jauh
dari rumah lain sehingga ketika bermain di sana suara Danar dan kawan-kawan
tidak mengganggu para tetangga yang sedang beristirahat di rumah. Mata Danar
masih mencoba mencari-cari ingatan yang tenggelam sejak berpuluh tahun yang
lalu. Dia ingat bahwa dulu pernah bermain gul-gulan
di sana, kasti, jamuran, pak ekong
(petak umpet), dan egrang dengan teman-temannya. Teman-teman Danar kecil
beragam, mulai dari kakak kelas, adik kelas, dan tetangga dusun.
Dulu tempat itu
selalu ramai setiap sore. Senja tak pernah kesepian dibuatnya. Sekarang, rumah
kosong itu semakin terlihat kosong. Sepi. Tidak ada anak-anak bermain di sana.
Danar tersenyum tipis sembari memandangi kenangan yang tersemat di dinding-dinding
rumah Pak Sur. Kemudian, ia mengayuh sepedanya pulang ke rumah.
“Sekalipun waktu telah beranjak pergi dan
permainan-permainan itu telah membungkam mulutnya. Nilai-nilai yang tumbuh
darinya bukanlah sesuatu yang dapat dibunuh mati, bertahan dan berjalan dalam
tindak.“ kata Danar menutup senja hari ini.
*ditulis oleh Galih Ratna Puri Palupi, Volunteer Komunitas Anak Bawang